PURNAMA
By : Dzakira Nada ‘Azizah
( [email protected] )
PROLOG
Aku menatap jendela sekolah. Belum ada tanda-tanda bel akan berbunyi.
“Delia!”, seseorang memanggilku.
“Oh, halo Vannisa! Tumben pagi!”
“Hahaha, iya dong, aku gitu lho!”, aku tersenyum tipis.
“Besok jadi ke rumahku?”, tanya Vannisa.
“Gak tau, mudah-mudahan iya”.
Vannisa tidak bertanya lagi, dia sibuk dengan buku yang dibacanya. Tiba-tiba lantai bergoyang, ada suara sirine di lorong!
“GEMPA!”, teriak anak-anak lain sambil berlari.
Aku dan Vannisa cepat-cepat berlari menuruni tangga.
“Cepat Vannisa!”, teriakku. Vannisa tertinggal jauh di belakang, dia memang payah dalam berlari. Aku berusaha menggapai Vannisa. Yes! Berhasil! Aku menarik tangan Vannisa menuju pintu keluar.
Gedung sekolah mulai runtuh, aku dengan cekatan menghindar dan membantu Vannisa. Tinggal sedikit lagi! Batinku. Tapi tiba-tiba rokku tertimpa besi yang jatuh. Karena rokku panjang dan hampir setengahnya tertimpa, Vannisa membantuku menarik rokku.
“Lepas saja roknya! Kamu pakai celana kan??”, teriak Vannisa, berusaha mengalahkan suara jeritan murid-murid. Benar juga! Kenapa tidak terpikirkan olehku? Aku segera membuka rokku. Untung saja aku selalu memakai celana di bawah rok.
Terlambat! Aku dan Vannisa tertimpa reruntuhan. Seketika semuanya gelap…
*****
BAB I
Aku mengerjap-ngerjapkan mata.
Di sekelilingku masih ada reruntuhan besi.
“VANNISA! VANNISA KAMU DENGAR AKU? KAMU DI MANA?”, aku berteriak sekencang mungkin. Tidak ada jawaban. Aku berjalan melewati lorong yang gelap. Aku melihat kanan, kiri, banyak sekali reruntuhan besi di dalam kelas.
Tak! Tak! Tak!
Tiba-tiba aku mendengar ada suara orang berjalan dari belakangku.
“Hhh…”, terdengar suara nafas.
“Siapa di sana!”, teriakku sambil menoleh ke belakang. Tidak ada orang. Aneh, padahal tadi aku mendengar suara nafas tepat di belakangku. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Aku bergegas ke lapangan sekolah. Gelap. Sudah malam.
Aku melihat di tengah-tengah lapangan ada gadis berambut panjang sampai ke punggung. Dia memakai gaun berwarna hitam. Umurnya kira-kira 16 tahun, seumur denganku. Dia berdiri di tengah lapang.
Deg deg deg…
“Vannisa? Apakah itu kamu?”, tanyaku. Tidak ada jawaban darinya.
“Hei! Apa yang kau lakukan di sini?? Untung saya ke sini, kalau terjadi sesuatu padamu bagaimana??” teriak seseorang. Aku kaget setengah mati, lalu aku balik badan untuk melihat siapa yang bicara padaku. Oh ternyata pak satpam. Aku melirik ke belakang untuk melihat wanita itu lagi.
“Hah? Kemana dia??” tanyaku.
“Siapa? Bukannya dari tadi kamu sendirian?” tanya pak satpam.
“Hmm…? Bapak gak liat gadis yang tadi ada di belakang saya?”
“Tidak. Ah sudahlah mari kita ke tenda pengungsian. Kamu boleh setenda dengan anak saya” lalu kita berjalan ke tenda pengungsian. Tidak jauh, hanya 40 meter.
“Sudah sampai, tenda anak saya di sana.” kata pak satpam sambil menunjuk ke pojok kiri. Di sana ada tenda yang kecil.
“Terima kasih pak” ucapku pada pak satpam.
Aku segera masuk ke tenda tersebut. Lho, gak ada orang ya? Sebelum pak satpamnya pergi jauh, aku segera memanggilnya“Pak, anak bapak di mana ya?”
“Lho, bukannya ada di tenda?”
“Gak ada pak” pak satpam langsung panik.
“Biar saya bantu cariin ya pak, ciri-ciri anak bapak gimana?”
“Namanya Nella,umurnya 16 tahun, rambutnya panjang sampai ke punggung, terakhir kali memakai gaun hitam”
“Lho? Bukannya itu yang ada di lapangan ya??”
“Benarkah?? Besok pagi kita cari bersama ya!”
“Iya pak satpam” aku berjalan ke arah tenda.
“Oiya nak, berhenti memanggilku pak satpam, panggil aku pak Samat” ucap pak Samat lalu balik badan ke arah tenda.
Aku memasuki tenda Nella. Lho apa ini? Batinku saat melihat ada cincin berwarna emas, aku pakai saja deh.
Aku tertidur pulas sambil mengenakan cincin itu.
*****
Keesokkan harinya aku dan pak Samat meminta izin keluar mencari Nella. “Maaf pak, saat ini masih dilarang untuk pergi keluar. Anak bapak akan segera dicari oleh tim SAR”, kami mengangguk lalu pergi kedalam lagi.
“Fuhh… Delia, kamu bermainlah di sana, ada banyak anak-anak yang bisa diajak main” kata pak Samat menunjuk lapang kosong yang dipenuhi anak-anak.
“Iya, saya pergi dulu ya” ucapku sambil mengangguk lalu pergi.
Di sana ada banyak anak, tapi tidak satu pun aku kenal. Aku duduk termangu diatas batu. Apa yang terjadi pada mama, papa, dan semua keluargaku? Apakah mereka selamat? Apakah mereka ada di sini? Apa yang terjadi pada Vannisa? Batinku. Sehabis gempa kemarin aku belum bertemu satu pun orang di keluargaku.
“Halo, kamu Deliakan?” tiba-tiba seseorang menyapaku.
“Aku Adnan, kenal aku gak? Aku tetanggamu” tanya anak laki-laki yang bernama Adnan itu.
Aku menatap wajahnya, sepertinya aku tau… pikirku.
“Mau ke tendaku? Disana ada sepupuku, Nadira dan Lian” ajaknya menjulurkan tangan. Aku mengangguk, kami berjalan ke arah tenda Adnan. Tendanya berwarna biru, tidak seperti tendaku dan yang lain, warna tenda di sini kebanyakan berwarna putih.
“Kita kedatangan tamu nih”
“Emm… Halo, namaku Delia” ucapku memperkenalkan diri.
“Halo, namaku Nadira” ucap seorang gadis berambut pendek sebahu yang mengenakan joger pants dan kaos lengan pendek berrompi.
“Namaku Lian, anak terganteng di keluarga Adnan” ucap seorang laki-laki sambil bergaya.
“Kamu baru kenalan udah pamer!”
“Gapapa dong, terserah aku!”
“Hush! Udah jangan berantem” lerai Adnan.
Aku duduk disebelah Nadira dan Adnan. “Mau main kartu?” tanya Nadira “nggak ah! Gak seru! Mending main bola!” sambar Lian “kalian kerjanya berantem terus! Kalo Delia mau main apa?” “Emm… Terserah kalian, aku ikut kalian saja” ucapku.
BRAK!
Tiba-tiba sebuah suara yang kencang terdengar dari luar. “ITU TENDA MILIKKU! BAHKAN ADA NAMAKU DI TENDA ITU” “MANA MUNGKIN! BARANG-BARANGKU ADA DISITU!” “APA MAKSUDMU?! MANA MUNGKIN ADA BARANG YANG KAU BAWA DARI RUMAH SEHABIS GEMPA BEGINI?!”, ada dua pria sedang bertengkar tentang satu buah tenda yang cukup besar “pak, mohon tenang! Kalian akan kami bawa ke tempat yang lebih sepi!” seorang satpam membawa mereka pergi.
“Permisi pak, apa boleh saya tahu apa yang telah terjadi tadi?” seorang anak lelaki bertanya pada seorang penjaga “tidak ada apa-apa nak, hanya sedikit pertengkaran yang kecil” jawab sang penjaga.
Kami memasuki kembali tenda milik Adnan.
*****
“Eh, Del, cincin kamu bagus banget! Beli dimana?” tiba-tiba Nadira memuji cincin yang aku temukan di tenda.
“Oh, emm… Ini aku temukan di tendaku” jawabku
“waah, siapa yang membuangnya ya? Sayang sekali, padahal bagus banget…”
“Emm, aku tidak yakin kalau ini dibuang sih soalnya~”
“Atau mungkin itu cincin ajaib!” tiba-tiba Lian memotong.
“Kayak yang di cerita-cerita itu lho!”
“Gak mungkin! Kamu kebanyakan baca komik sih…” akhirnya Adnan ikut berbicara.
Kami pun bermain kartu setelah banyak mengobrol, “wah, sudah sore nih. Kita lanjut besok ya!” Kata Adnan sembari menunjukan jam tangan “yaaahhh… tapi tanggung nih!” kata Lian “iya tanggung! Untuk sekali ini saja aku sepemikiran dengan Lian” kata Nadira “a, aku harus kembali~” “ oh, ya sudah. Kalau begitu sampai nanti malam” ucap Nadira. Sampai nanti malam? Maksudnya dia akan mendatangiku? Ah, sudahlah ucapku dalam hati.
Aku pun pergi kembali ke tenda dan berdiri mematung melihat seseorang berdiri di dalam.
*****
BAB 2
Didepanku berdiri seorang wanita, di sebelahnya ada 2 kucing. Satu putih dan satu hitam. Mukanya pucat, terlihat seperti akan pingsan “to…long~” BRUK! Dia pingsan “ha, halo nyonya? Ada apa ini? Nyonya? Nyonya?” dengan panik aku menidurkannya dikasur.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Siapa wanita ini? Kenapa dia disini? Ada seribu pertanyaan dikepalaku, aku pun memutuskan untuk meminta tolong “seseorang! Tolong~” “JANGAN! Biar… kan… aku~” sela wanita misterius itu “apa kau masih bangun nyonya?” “aku… ti…dak apa-ap~” kata-kata wanita itu terputus. Ia kembali pingsan.
“DELIAAA!!!” seru seseorang,
“Delia! Ayo!” itu Nadira,
“Apa yang kau lakukan disini? Kamu menyuruhku kemana?” tanyaku,
“Ya buat jemput kamu makan malam lah! Apa lagi?” jawabnya,
“Eh, siapa wanita itu? Ibumu?” tanya Nadira sembari menunjuk wanita yang terbaring dikasur,
“Aku juga tidak tahu~”
“Lalu itu kucingmu?” selanya,
“Bukan, itu kucing milik wanita itu”
“Jadi kamu tidak tahu itu siapa?? Kamu harus melapor Del! Bisa saja dia orang jahat!”
“Emm… aku tidak begitu yakin aku harus melaporkannya. Dia bilang jangan~”
“Dia bilang begitu karena dia tidak ingin ketahuan! Ayo ikut aku!” ucap Nadira sambil menarik tanganku.
*****
“Pak! Kami menemukan wanita aneh di tendanya!” lapor Nadira saat kami sampai di sebuah tempat yang seperti pos,
“Oiya? Antar aku kesana nak!”
“Ayo!” seru Nadira sambil menuntun jalan.
“Disini pak~” kosong, tak ada orang “dimana wanita itu?” tanya pak petugas “kemana wanita itu pergi?! Aagh… pasti dia tau kita akan melapor! Makanya dia pergi!” pak petugas kembali ke pos. Apa yang terjadi? Beberapa menit yang lalu dia masih terkulai lemas tak berdaya disini, kemana dia pergi? Bagaimana caranya? Aku bingung, seribu pertanyaan kembali menghujani pikiranku, dan yang sampai sekarang sangatku tanyakan adalah, siapa wanita itu? “Uugh… ya sudah! Ayo kita makan Del!” aku mengangguk.
Tak usah dipikirkan Del… itu hanya wanita yang kelelahan dan pergi saat aku pergi batinku.
*****
Kami sampai di sebuah lapangan kecil, ada karpet panjang dan ada banyak orang disana “Delia! Nadira! Sini!” teriak Adnan. Kami menghampirinya, disebelahnya ada Lian yang sangat lahap menyantap makanan, “kamu makan banyak sekali Lian! Seperti sudah ratusan tahun kau tak makan!” “hahaha, makanan ini enak sekali Dir!” kami duduk disamping Adnan.
Makan malam yang sangat menyenangkan, dipenuhi canda tawa. Tapi dibalik semua itu, kesedihan melanda mereka. Kesedihan akan mereka yang hilang, kesedihan akan mereka yang belum ditemuinya, kesedihan akan mereka yang meninggal. Ataupun penyesalan yang sangat dalam.
Ada beberapa yang termenung, tak menyentuh makanan sama sekali. Aku merasakannya… Apa yang terjadi pada mama, papa, dan semua keluargaku? Apakah mereka selamat? Apakah mereka ada di sini? Apa yang terjadi pada Vannisa? Yang bisa kulakukan hanyalah diam dan berharap tanpa tau apa yang terjadi pada mereka.
*****
“Huft, kenyangnya! Sekarang, tiduuur!” ucap Lian setelah selesai makan, “iya, selamat tidur!” Adnan dan Lian melambaikan tangannya.
“Ayo!” seru Nadira,
“Kemana?” tanyaku,
“Kemana lagi? Ya ke tendamu lah! Hari ini aku tidur ditendamu ya!”
Tanpa basa-basi lagi, kami langsung pergi ketendaku. “Kalau dipikir-pikir, tendamu lebih luas ya!” “i, ini bukan tendaku…” “lalu siapa?” tanya Nadira “ini punya anak pak satpam disekolahku, anaknya hilang, jadi aku bisa memakainya “oooh… namanya siapa?” “kalo gak salah sih Nella…” muka Nadira yang tadinya tersenyum berubah menjadi kaku, “a, apa… apa nama pak satpam itu Samat?” Nadira berusaha tersenyum “iya, kok tau? Apa kalian saling kenal?” tanyaku “ti, tidak, hahaha. Hanya saja sepertinya aku tau~” jawabnya kaku “ooh, begitu. Ya sudah, yuk tidur!” kami segera tertidur lelap.
Kemarin dan hari ini sungguh melelahkan dan membingungkan, kemarin saat pagi terjadi gempa. Hari ini ada pertengkaran antara dua bapak-bapak, bertemu Adnan yang mengaku kalau dia tetanggaku, dan yang paling membingungkan adalah seorang wanita misterius yang datang ketendaku.
Semoga saja besok tidak terjadi apa-apa yang aneh. Yaa, walaupun aku berharap begitu, besok dan seterusnya adalah hari paling aneh seumur hidupku.
*****
Aaaahhh kok udahannn?? Lanjutin lagi dong, kok dipotong pas lagi seru?
Nella ke mana? Cincin emas itu ternyata apa? Siapa sebenarnya Adnan? Kok terkesan misterius, apakah dia benar-benar tetangganya? Atau…?
Lanjutkan yaa ???
BAGUS!!!
#bagus.com
(Ngasal )
#masteraki-tong
#masterhahaha
apasih, aneh
keren 😉 ini faiz :O bikin sendiri?
oiya dong
kereeenn…. lagi asal cari di google tiba-tiba nemu ini, dibaca, seru banget!!! mantap bossque… lanjutin lagi ya
Baru awal cerita kok sudah agak tegang ya? Hehe. Ayo lanjutannya segera yaa :))
Baru tahu ceritanya kayak gini. seru!